Tuesday, 1 March 2011

dear fatwaku kekasihku

Beb, dulu kamu ingin sekali mengajakku naik kereta api kelas ekonomi dari malang kejogja.
Karena dengan kereta api kelas ekonomi kita akan menjumpai banyak orang-orang beragam jenis.
Pengamen yang suka menyanyikan lagu-lagu jawa, penjual asongan, penjual nasi bungkus, kopi dan minuman hangat lainnya.
Aku sekarang akan menaiki kereta itu bersama sahabatku ersa.
Kamu masih ingat ersa kan?
Dia yang selalu kamu kerjai dengan guyonanmu.
Dia yang akan menemani aku perjalanan kejogja, kerumahmu.
Walaupun ragamu tak mampu menemaniku sekarang, tapi aku yakin kamu disampingku sekarang.
Kita akan menjumpai pengamen yang dulu pernah ingin kau tunjukkan padaku, pedagang asongan penjual nasi bungkus dan minuman.

***
Sekarang aku sudah menaiki kereta itu, rasa hampa menyapa begitu saja dibenakku, teringat celoteh konyolmu tentang sebuah kereta.
Sepanjang perjalanan, bayanganmu terus meraja.
Sempat tertawa renyah menceritakan yang lalu denganmu kepada sang sahabat.
Disebelah kananku ada seorang ibu dan anak lelakinya. Aku teringat Ibumu dan kamu.
Andai aku mampu memutar waktu, pasti akan kuperbaiki segala sesuatunya.
Kericuhan roda dan rel kereta semakin mencabik batinku. Membuka memory yang pernah tercipta antara kita.
Aku dan sahabatku dihampiri oleh pramugara kereta, dia baik sekali, darinya aku mendapatkan info bahwa aku bisa langsung melanjutkan perjalananku ke Kutoarjo dengan kereta ini tanpa harus turun dan oper kereta Prameks.
Langsung kuyakini, bahwa disampingku selalu ada kamu yang terus menemani disepanjang perjalananku.
Sore telah berganti malam. Gelap. Andai kau ada dan nyata, mungkin aku tak kan merasa berduka melihat kearah luar jendela yang begitu gulita.
Ah, tapi apa yang bisa kuperbuat?
Aku hanya bisa berkomunikasi denganmu lewat batin, dan jawabanmu cukup dengan petunjuk baik yang datang padaku.
Selamat malam bebi.
Tidurlah dengan tenang lagi nyenyak dipersinggahan kekalmu.

***
Dengan langkah pasti kumenuju rumahmu, melewati teduhnya kotamu, indahnya pemandangan alam. Pintu rumah terbuka, kusalami seorang bapak dan itu bapakmu, berikut Ibumu dengan pelukan basah oleh tangis, kakakmu yang sangat kau cintaipun kupeluk erat seperti aku pernah memelukmu.
Rumah yang asri, teduh nan nyaman sekali jauh dari hiruk pikuk kota.
Obrolan keluar dengan begitu saja dari mulut kami tentang semua kenangan denganmu.
Matahari begitu terik, panas membayang, tapi tak enyahkan langkahku,ibukmu,mbakmu,dan yang lain menuju rumah akhirmu.
Aku terpaku, antara iya dan tidak, benarkah ini pemakamanmu bebi?
Atau hanya gundukan tanah yang dibuat-buat?
Aku masih tidak mempercayainya.
Terhatur doa dan dialog batin yang searah.
Tanpa jawabmu. Aku menangis.

No comments:

Post a Comment