Tuesday 1 March 2011

kaca yang pecah, atau nasi yang membubur? itu tak penting! karena kita adalah lakon, dan mereka adalah penonton

Banyak yang tidak kumengerti disini. Kupikir tak kan ada habisnya menilai. Tentang bagaimana ini dan bagaimana itu. Semua cukup dirasa dalam hati tanpa berucap, tentang apa itu kamu dan apa itu aku. Mencoba menerima walau kadang bertentangan dengan hati nurani dan keinginan. Mengoreksi yang sudah sudah hanya akan meluka. Tak pernah cukup dan tak pernah habis. Kala rasa sudah bicara, lalu apalagi yang diperlu? Mencumbu walau hanya cumbu, merayu walau hanya rayu buatku itu tak perlu. Tanpa melebihkan memang sudah lebih, tanpa mengurangi memang sudah kurang, tentang hati dan kepekaan. Senja diufuk yang indah itu tetap akan indah walau kita tak bersama, tetap kutatap walau tanpa genggaman satu. Memang beda rasanya. Tapi apa indahnya jika saling mencerca? Tak perlu tahu apa yang bersemayam, cukup dibayangkan dan diamalkan. mencari sempurnapun akan nihil hasilnya, percayalah tak kan kau temukan sempurna itu pada tubuh siapapun. Selalu membaca cermin pada setiap kesempatan itu baik, bukan untuk memuji keindahan diri, tapi lebih untuk koreksi. Tak perlu memerintah siapapun, cukup diri sendiri. Berkaca, bahwa akupun penuh kurang, dan banyak minus. Enyahlah apa kata mereka, apa mereka akan ada saat kita kurang? Yang umumnya terjadi mereka ada saat kita lebih. Mereka adalah penonton dan kita adalah wayang. Wayang yang jika berhasil melakoni skenario maka mereka akan bersorak gembira,,wayang yang jika gagal melakoni skenario maka mereka akan bersorak menghina. Mereka tidak boleh merusak lakon dalam pewayangan. Mereka adalah sekumpulan orang2 yang hanya akan bertepuk tangan menyaksikan kesuksesan yang kita raih, atau kehancuran yang kita peroleh. Lalu? Apalagi? Cukup kita.. Cukup aku dan kamu. Sebelum semua berakhir dengan ending yang tak terpilih maka tetapkanlah peranku dan peranmu. Karena rasa itu mengobati bukan menyakiti. Bukan juga untuk ditangisi.
Kata yang sudah terlanjur terhatur tetap akan jadi pahit dihati, tak pernah ingin menuntut walau tak bisa ditarik, mgkin juga akan termakan dan terkubur dalam bersama darah dan daging. Tapi tak mengapa, karena pahit dan manis itu sudah biasa menyinggahi. Akupun tak ikut punya hidup. Tak ada yang ku tuntut dan semua yang terjadi cukup kuamini. Seperti yang orang bilang bahwa hati ibarat kaca, dan jika kaca itu pecah maka tidak akan bisa kembali utuh seperti semula walau dilem dengan perekat termahalpun dijagat raya ini. Tapi bagiku itu tak penting karena hati ini sudah berulang kali patah dan seperti yang terlihat bahwa aku baik-baik saja. Ato mungkin seperti kata orang bijak yang mengatakan bahwa nasi sudah menjadi bubur, itupun tak penting bagiku, karena aku mampu menyulap bubur itu menjadi bubur ayam yang lezat dan akan kusiapkan dimeja makan untuk bersantap. Segala sesuatu cukup dimaknai dan dipelajari. Selalu ada jalan dan hikmah disetiap kejadian. Tentang aku dan kamu, yang entah bagaiman perannya nanti. Tak ada yang tidak mungkin jika sang Maha sudah menetapkan jalan_Nya. Cukup kuamini saja, dan mari berkaca, karena dunia ini bukan milikku, dan juga bukan pula milikmu.

No comments:

Post a Comment